Minggu, 16 Agustus 2009

Pidato Netanyahu: Planing Pengelabuan Baru Israel

Bilal Hassan

Harian Asy-Syarqul Ausath

Hari ini.. Sepuluh hari setelah Obama menyampaikan sambutannya di Kairo, Benjamin Netanyahu, PM Israel menyampaikan pidato tradisional menanggapi politik Amerika Serikat. Ia mengumumkan bahwa dirinya bertentangan dengan Obama, menolak slogan solusi “dua Negara”, menolak menghentikan perluasan permukiman. Persiapan sikap Israel untuk mundur sudah dimulai sejak Obama selesai pidato. Simon Perez, presiden Israel sosok dari Partai Buruh kiri ini akan mendekati menasihati Netanyahu dari Likud berhaluan kanan. Perez akan menyampaikan kepada pers apa yang tidak dikatakan oleh Netanyahu dalam pidatonya dan dirinya tidak bertentangan dengan sikap-sikap Obama. Setelah pidato Obama, Simon Perez langsung mengontak Netanyahu untuk mengajaknya agar tidak menyia-nyiakan kesempatan bersenjata dalam pidatonya, termasuk kembali berunding dengan Palestina sesuai dengan Peta Jalan Damai serta menasihatinya agar menghentikan permukiman.

Setelah Perez, datang Menhan Israel Ehud Barak. Ia juga menolak perluasan permukiman. Ia menasihati Netanyahu agar menerima rencana “solusi dua Negara” dan mengumumkannya dalam pidatonya hari ini. Ehud Barak tidak lupa membela ajakan politiknya ini dengan mengatakan, “Pemerintah Netanyahu masih menghormati kesepakatan yang diteken dengan pemerintah sebelumnya di antaranya Peta Jalan yang menegaskan solusi konflik berdasarkan pendirian dua Negara untuk dua bangsa. Jika solusi ini gagal maka hanya akan ada satu Negara “Israel”. Jika Palestina memiliki hak voting maka tidak aka nada Negara Yahudi dan tidak aka nada Negara dua bangsa. Jika Palestina tidak memiliki hak voting maka, system Negara Israel akan sangat rasis dan diskriminatif.

Seruan dari Presiden Israel dan Menhannya ini membuat Netanyahu yakin pentingnya menerima nasihat itu. Jika ia tetap pada sikapnya, maka pemerintahannya akan lemah dan bisa jadi jatuh dan digantikan yang menasihatinya. Apalagi Ehud Barak sempat bertemu Obama di Gedung Putih dan kita tidak tahu ada kesepakatan apa antar keduanya. Jika ia mundur dan meralat sikapnya, maka ia bisa menerima slogan “dua Negara” dan bekerjasama dengan elit Israel lainnya untuk merancang Negara Palestina yang tidak memiliki spirit dan esensi baru setelah itu menuju perundingan damai untuk mencari simpati Obama.

Jika Netanyahu menerima ini maka ia akan menyampaikan dalam pidatonya soal “rencana detail tentang pengertian perdamaian di kawasan” atau “rencana perdamaian Israel di kawasan”. Pidato itu dikonsep oleh tiga orang: Netanyahu; yang pada dasarnya tidak percaya dengan pentingnya perundingan dengan Palestina, Simon Perez; yang terkenal karena manipulasi politiknya melalui pembenaran sesuatu dengan yang tidak benar. Israel juga membela kejahatan Israel di Gaza di depan PM Turki. Sementara Ehud Barack adalah laki-laki pembantai, tukang perang, perundingan yang gagal dengan Yaser Arafat di Cam David tahun 2000 ketika berusaha menipu Arafat agar menerima proyek damai yang dikelabui yang didasarkan kepada penguasaan 45 % tanah Tepi Barat, menguasai Al-Quds dan masjid Al-Aqsha, membiarkan pangkalang militer Israel di Tepi Barat.

Mereka bertiga ini akan merancang “rencana perdamaian Israel” dan mengumumkan bahwa mereka menerima rencana presiden Obama untuk berunding yang didasarkan kepada prinsip dua Negara dengan menghentikan segera perluasan pemukiman. Kemudian mereka mulai merinci rencana perdamaian ala Israel. Yakni rencana lama tapi baru dimana Israel akan menentukan apa yang mereka inginkan dari tanah, perbatasan, air, sejarah, peninggalan bersejarah. Kemudian setelah itu mereka akan meninggalkan Palestina dengan memberikan prediket “Negara” di atas tanah kering kerontang dan kota-kota yang dikepung tembok dan sumur yang kering.

Sejak hari ini, kita Palestina dan Arab di hadapkan pertanyaan tantangan dari rencana Israel lama tapi baru ini. tantangan itu berasal dari dua sisi: kita sendiri dan sisi Presiden Barack Obama.

Kita sendiri memiliki tanggungjawab menentukan apa yang kita inginkan dari perundingan politik dengan Israel dengan kalimat yang jelas tanpa ada kesamaran, menjelaskan perundingan damai Arab:

Pertama, penarikan diri Israel secara penuh dari wilayah Arab yang dijajah tahun 1967.

Kedua, menghilangkan seluruh permukiman Israel yang didirikan di atas tanah jajahan yang bertentangan dengan undang-undang internasional, termasuk kota Al-Quds dan sekitarnya.

Ketiga, mendirikan Negara Palestina merdeka dan memiliki kedaulatan penuh.

Keempat; menolak gagasan pertukaran tanah dalam perundingan.

Kelima, meminta ganti rugi bagi warga Tepi Barat dan Jalur Gaza dari kerusakan dan kehancuran yang mereka akibat tindakan Israel baik kerugian nyawa, tanah, property, bisa jadi perumukiman yahudi di Tepi Barat sebagai salah satu bentuk ganti rugi.

Keenam, mengonsep proyek solusi yang menjamin hak kembali pengungsi Palestina sesuai dengan keputusan 194 dari resolusi DK PBB tahun 1948.

Ketujuh, jika Israel menolak hak kembali, maka kesepakatan yang sduah dibuat adalah kesepakatan gencatan senjata dan kesepakatan menghilangkan bekas peperangan mereka di tahun 1967 dan bukan kesepakatan damai antara Israel dan Palestina.

Pasal-pasal ini harus ditulis, diumumkan, disampaikan kepada Israel dan presiden Amerika dan semua yang berkempentingan.

Di pihak Obama, kita sedang menunggu perundingan yang diserukannya setelah Netanyahu mengumumkan rencana perdamaian. Jika Obama menyatakan bahwa drinya sudah menyiapkan situasi yang sesuai di meja perundingan, maka itu sudah bentuk kegagalan sejak pertama. Sebab itu perundingan berdasarkan kekuatan yang dimiliki Israel dan AS. Selama bertahun-tahun logika ini gagal. Perundingan yang menjamin berhasil adalah yang didasarkan kepada kaidah hukum internasional yang ditolak Israel sejak konferensi Madrid tahun 1991 hingga sekarang dan didukung AS. Jika Obama ingin mengubah secara hakiki maka ia harus menggunakan hukum internasional sebagai kaidah perundingan Arab Israel. Inilah yang kurang dari pidato Obama terkait dengan masalah Palestina. (bn-bsyr)

Pragmatisme Hamas dalam Perspektif Konflik dengan Israel

Ali Badwan

El-Hayat London

Pidato Kepala Biro politik Hamas, Khalid Mishal beberapa saat lalu menjelang dialog Palestina putaran ketujuh antara Hamas dan Fatah di Kairo mengungkap sejumlah tema besar. Pada saat yang sama, pidato itu mengisyaratkan pragmatisme cukup tinggi yang sudah mulai ada sejak lama dalam jargon politik Hamas.

Jika diperhatikan pidato Khalid Mishal yang menyampaikan empat pesan dalam pidatonya di Damaskus dan menjawabnya dengan sekali jawab memunculkan sejumlah pertanyaan yang mengundang kontroversi di Palestina dan bahkan Arab. Apa lantas yang baru dalam pidato Mishal?

Yang baru dalam pidato Mishal adalah pesan pertamanya kepad Amerika Serikat dan Eropa (barat). Isinya tentang pandangan politik Hamas terhadap sejumlah peristiwa di kawasan pasca pidato Obama. Mishal menegaskan bahwa gerakannya menengarai adanya perubahan yang perlu disambut baik dalam cara yang ditempuh Amerika terhadap kawasan Timur Tengah dan dunia Islam. Namun ia meminta agar ada perubahan riil di lapangan dan bukan hanya sihir pidato yang bersifat sementara. Perubahan sikap Amerika itu juga diisyaratkan pada pertemuan sejumlah petinggi Hamas dengan mantan presiden Amerika Jimmy Carter.

Sehingga Khalid Mishal atas nama Hamas mengulurkan tangan kepada presiden Obama untuk dialog serius Hamas – Amerika. Hamas juga menyatakan siap dengan solusi berdirinya negara Palestina dengan berdaulat penuh di atas wilayah jajahan tahun 1967 dengan mengembalikan hak pengungsi untuk kembali ke tanah air mereka. Ini adalah menunjukkan fleksibelitas sikap Hamas dan pragmatis yang tinggi yang mulai membedakan sikap politik harian Hamas.

Pesan kedua, disampaikan Mishal kepada negara-negara resmi Arab, jarang terjadi Hamas menyampaikan ini secara resmi dan terbuka, bahwa pihaknya tidak rela dengan sikap-sikap Arab dalam perundingannya dengan Israel yang sekarang ini berjalan. Hamas meminta agar Arab memiliki sikap strategi yang baru. Pesan ketiga, soal pidato Netanyahu yang mempertahankan prinsip-prinsip zionisme Israel dengan logat sangat congkak, Mishal kembali membuang jauh-jauh riwayat Netanyahu dan mempertahankan masalah-masalah inti nasionalisme Palestina, terutama hak kembali.

Pesan keempat soal keberhasilan dialog Palestina, Mishal menegaskan bahwa untuk mewujudkan hal ini, harus diselesaikan secara runut tiga hal. Pertama masalah penahanan politik, kedua, membebaskan dialog Palestina dari komitmen dengan Israel dan intervensi asing, ketiga, solusi menyepakati satu paket dan solusi parsial.

Dengan demikian, salah orang meyakni bahwa Hamas berjalan menuju perputaran dramastis dalam program, sikap, dan orientasinya. Perubahan yang dibutuhkan dalam melihat sistem politik membutuhkan proses pematangan, bukan hanya didasarkan kepada analisis teori semata, namun membutuhkan analisis eksperimen.

Hamas memiliki pengalaman politik Islam di Palestina dimana ia diembargo oleh Washington ketika membentuk pemerintahan koalisi nasional dan pengalaman-pengalamannya hingga sekarang. (bn-bsyr)

Tiga Tahun Terburuk dan Terpuruk dalam Sejarah Israel

Nawwaf El-Zorou

El-Bayan Emiret

Rabu pekan lalu (8/7), Israel memperingati tiga tahun (kekalahan mereka) dalam perang Libanon 2006 yang merenggut nyawa 121 serdadu mereka. Data lain menyebutkan korban Israel dua kali lipat dari jumlah itu. Sebuah angka kerugian yang tidak pernah terjadi dalam sebuah pertempuran dengan pasukan resmi Negara Arab sekalipun. Ini membuktikan betapa perang itu masih membakar kesadaran kolektif militer keamanan Israel, bahkan meninggalkan luka mendalam.

Para jubir komandan Israel berusaha membangun spirit pasukannya bahwa militer Israel siap menerapkan pelajaran dari perang tersebut untuk persiapan perang mendatang. Namun itu bukan jawaban memadai bagi keluarga pasukan korban yang terbunuh yang mengkritik perang Israel dengan pedas. Mengan Israel, Ehud Barack kala itu berjanji bahwa perang itu adalah titik tolak yang menakutkan dan tidak akan terjadi lagi, disamping perang itu telah membuka mata Israel. Menurut Barack sendiri, Hizbullah menguat dan terus mempersenjatai diri sehingga kekerasan akan terus terjadi. Lantas gertakan menakutkan apa yang sudah dilakukan Israel. Apakah agresinya di Jalur Gaza beberapa waktu lalu atau latihan militer mereka “titik tolak 1” hingga “titik tolak 3”?. Padahal banyak kesaksian Israel sendiri, bahwa militernya sedang gundah dan ketakutan akibat roket-roket Hizbollah, apakah akan berani melakukan serangan baru ke Libanon.

Yang membuat Israel tidak bisa tidur adalah “perut besarnya” yakni front pertahanan internal mereka yang hancur luluh selama peperangan terjadi. Berikut adalah pengungkapan data-data hasil perang Libanon itu yang dialami Israel, masyarakatnya dan militernya:

- 2006 adalah tahun terburuk dalam sejarah Israel

- Israel mengalami kekalahan telak dan tidak akan dilupakan oleh generasi-generasi Israel berikutnya.

- Keraguan terhadap eksistensi dan masa depan Negara Israel dan proyek zionis yang sesuai dengan agenda Israel.

- Teori dan pemahaman militer Israel makin tidak berlaku dan berjatuhan, demikian halnya target politik dan strateginya makin hancur.

- Militer Israel melakukan reformasi teori militernya usai kekalahannya dalam perang Libanon. Perez menyerukan agar mengembangkan senjata Nano Teknologi untuk menghadapi Hezbollah.

Setiap kesimpulan di atas memiliki kaitan langsung dengan pemahaman “ideology dan teori militer peperangan”, “superior multak”, “kemampuan menyerang” dan “membakar kesadaran” yang diyakini Israel selama ini sebagai legenda mereka. Selama beberapa decade mereka merasa puas dan bahagia menceritakan riwayat istimewa mereka sebagai militer kecil, cerdik, kuat, tak terkalahkan, dan mampu mewujudkan kemenangan dalam waktu cepat terhadap sejumlah Negara dan militer Arab.

Namun berdasarkan data Israel sendiri, perlawanan Libanon mampu membalikkan perhitungan dan prediksi strategi mereka dalam mengubah kemenangan Israel yang cepat menjadi kekalahan yang membakar kesadaran dan teori legenda mereka.

Dalam perangnya di Libanon, Israel menggunakan seluruh kekuatan militernya berupa serangan udara intens. Desa-desa Libanon secara utuh hancur rata dengan tanah, disamping infrastruktur yang ada dari jembatan, saluran air, instalasi listrik dan lain-lain. Seakan Israel ingin mengatakan, “Ini akibat siapapun yang berusaha mengganggu Israel…inilah balasannya”.

Namun kenyataan di lapangan, dalam perang tanding di sana, angin tidak sepoi-poi seperti yang dikehendaki Israel. Kondisi berbalik, dari kepercayaan diri mutlak akan menang telak melawan Hizbollah menjadi keputusasaan, kelabakan dan perasaan kalah menghadapi perlawanan yang tidak melemah semangatnya.

Ya, Israel yang dianggap besar menghadapi kehinaan paling besar pula dalam sejarahnya. Ini yang ditegaskan oleh pakar Amerika, Brett Stignr di koran The Wall Street Journal. Di lapangan, pasukan-pasukan pilihan berjatuhan di neraka Bent Jabel. Bahkan ada “pembantaian Merkava”, yang konon adalah tank paling canggih dan paling kuat menahan gempuran di dunia.

Secara intelijen, sumber-sumber Israel menegaskan bahwa Hezbollah berhasil mengalahkan “trinitas” terbesar badan intelijen Israel. Dalam perang media spikologi, sebuah studi Israel menegaskan bahwa kredibilitas Hasan Nasrollah mengungguli kredibilitas Israel dalam opini dunia dan TV Al-Manar menjadi teka-teki membingungkan bagi Israel dalam perang pengaruh.

Kesimpulannya, perang Israel ke Libanon tiga tahun lalu, seperti pengakuan Israel sendiri adalah perang paling gagal, kisah paling gelap dan menyedihkan dalam sejarah Israel. Keraguan Israel terhadap eksistensi dan masa depannya sendiri semakn mendalam. (bn-bsyr)

Konferensi Perdamaian Obama Yang Dijanjikan, Perdamaian?

Yaser Zaaterah

Dustour Jordania

Pemerintah Amerika Serikat menjanjikan konferensi perdamaian baru. Namun nampaknya, niat sejumlah pihak mengarah kepada konferensi ala Annapolis disamping dari Otoritas Palestina dan patner mereka Israel dan negara-negara pembebek lainnya, dan tentu dari negara-negara Arab.

Judul pesta kali ini masih proses perdamaian, terlepas dari hasilnya. Yang penting kawasan Timur Tengah (timteng) harus sibuk dengan perkembangan proses perundingan, bukan sibuk data korban terbunuh, terluka, unjuk rasa mengecam kejahatan Israel. Agar proses perundingan itu menjadi representasi mengakhiri senjata nuklir Iran, disamping masalah pembangunan, investasi, solusi krisis global.

Judul pesta baru Obama kali ini adalah langkah normalisasi Arab yang didukung oleh proses perdamaian baru, membuka rute baru bagi pesawat Israel di udara Arab dan negara lain dengan kompensasi pembekuan permukiman Israel sementara. Padahal tidak ada jaminan Israel akan komitmen dengan kesepahaman itu seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya membuktikan.

Masalah terkait solusi final akan dibahas di meja perundingan sebab itu dianggap satu-satunya sandaran legal yang dianut oleh Clinton, Bush dan semua tentu untuk menyenangkan Israel, baik yang sesuai dengan syarat Netanyahu kepada Palestina atau masalah mengambang seperti yang terjadi di Tepi Barat pada era pecahnya Intifadah akhir September 2000.

Sementara Otoritas Palestina akan terus berusaha menghentikan “kekerasan dan provokasi perlawanan” seperti yang dituangkan Peta Jalan Damai atau memberikan keamanan kepada Israel dengan konpensasi pemberian sejumlah bantuan serta kebebasan bergerak dan investasi terbatas. Inilah persis dengan perdamaian ekonomi ala Netanyahu.

Ini adalah perimbangan dan keadilan cemerlang bagi Israel dan kesepakatan di antara Otoritas Palestina di Tepi Barat. Disamping itu, mereka juga senang dengan kondisi Hezbollah di Libanon sekarang, blokade Hamas di Jalur Gaza, dan situasi represif keamanan Tepi Barat terhadap pejuang Palestina. Dengan demikian Israel dan dunia akan konsentrasi dengan bahaya nuklir Iran, bahkan dengan dukungan sejumlah negara Arab, dan lebih konsen menghabisi Hamas di Jalur Gaza.

Itulah permainan baru dengan segala rinciannya. Meski demikian, para pengekor itu masih tetap bersembunyi di balik Obama dan bekerjasama dengannya dalam memecahkan masalah Irak, Afganistan dan Somalia.

Permaianan proses perdamaian itu harus mendapatkan respon dari kelompok perlawanan umat. Sebab pada saat yang sama para politikus Palestina (Otoritas Palestina) dan Arab penganut perdamaian absolute itu melakukan dua dosa sekaligus; sabotase peluang perubahan di internal Palestina dan Arab serta sabotade peluang kebebasan dari penjajahan asing. (bn-bsyr)

halaman utama - Kolom dan Analisa cetakan E-Mail Bukti Penghapusan Nama-nama Palestina dan Bahasa Arab

Nawwaf Zurou

El-Bayan Emiret

Sudah sangat jelas bahwa negara penjajah Israel belakangan ini melakukan aksi berkesinambungan dan sistematis terhadap Palestina, warga, dan isu-isunya untuk mewujudkan sisa-sisa rencana yahudisasi yang belum tercapai.

Di bidang pertanahan dan geografi, Israel ingin yahudisasi geografi dan tanah Palestina. Israel juga ingin secara demografi mengurangi eksistensi penduduk Palestina hingga pada tingkat prosentasi paling rendah melalui rencana transfer.

Pada saat yang sama, Israel secara sistematis melakukan aksi luas menghancurkan budaya, tradisi dan simbol Arab Palestina, Al-Quds dan tempat suci lainnya, bahkan mulai memoles wajah Al-Quds dan tempat suci Islamnya dengan “pakaian Taurat”.

Belakangan ini, serangan Israel sudah menyentuh bahasa dan nama-nama bersejarah Arab dimana menteri perhubungan Israel mengumumkan kampanye proyek perubahan nama-nama Arab di Palestina dan Al-Quds.

Ini kampanye yahudisasi bahasa dan penamaan sebagai langkah politik ideologi yahudi yang sangat berbahaya karena akan menghapus nama-nama Arab dan tempat dari ingatan dan memaksa warga Arab berinteraksi dengan nama-nama Yahudi yang baru.

Israel sudah memberlakukan undang-undang dalam hal ini sejak Juni 2007. Knesset sudah menetapkan RUU soal keharusan memasang mereka dagang dan toko dengan bahasa Ibrani. Para politikus dan pakar hukum Arab langsung bereaksi. Mereka menilai ini kampanye menghapus bahasa Arab. Harian Ma'arev menegaskan bahwa Knesset menyetujui RUU tersebut bahkan sanksinya jika tidak menggunakan itu pemilik toko, restoran, yayasan dan lainnya akan dikenai sanksi melanggar hukum.

Muhammad Barkah, anggota Knesset dari perwakilan Arab menegaskan RUU itu ingin menghapus bahasa Arab di Palestina dan menggantinya dengan bahasa Ibrani Israel. Pada tahap awal yang menjadi target RUU adalah merek dagang dan selanjutnya nama jalan, kota dan desa dengan menggunakan tulisan ibrani.

Evi Lanzr, jubir Knesset dari partai Mivdal yang mengajukan “RUU Penulisan Huruf Ibrani” menegaskan, tidak ragu laku bahwa di masyarakat Israel jika ingin menjaga lebel yahudi harus menguatkan posisi bahasa Ibrani. Sebab menurutnya, bahasa Ibrani adalah simbol kelanjutan keturunan generasi sejak ribuan tahun lalu.

Ini indikasi dan aksi kuat Israel dalam menyerang bahasa dan nama-nama Arab membuktikan bahwa mereka akan terus menghapus status Arab Palestina secara sejarah, peradaban dan warisan dan mengubahnya menjadi tanah air Palestina. Sehingga bukan rahasia lagi negara Israel ini telah melakukan aksi pembersihan etnis secara menyeluruh, dengan menghancurkan tempat-tempat milik Arab di Palestina, menghancurkan sekitar 600 desa Palestina, dan tempat-tempat suci Arab di Palestina.

Lebih tegas lagi semua itu dilakukan dengan keputusan elit Israel yang sudah direncanakan dengan matang. Harian Israel Ha'aretz menyebutkan, “ Apa yang terjadi di Palestina adalah penghancuran kota dan desa-desa dari akarnya, menghancurkan peradaban seutuhnya, sekarang dan akan datang, simbol-simbol kehidupan Palestina yang sudah mengakar sejak 3000 tahun. Bahkan gereja yang ada di perkampungan Arab dimana mereka ingin menghabisi sisa-sisa eksistensi Arab yang dianggap mengganggu Israel.”

Inilah kisah sesungguhnya; dokumentasi dari arsip militer Israel terungkap belakangan menyebutkan bahwa pasukan Israel bekerja sejak negara Israel berdiri tahun 1948 untuk menghilangkan bekas-bekas desa, perkampungan Arab yang pendudukanya sudah diusir dan itu dilakukan atas perintah dari komandan Front Selatan pada saat itu Moshe Dayyan yang mengubah Palestina menjadi padang tandus rata dengan tanah dan menghapus peradaban Arab yang sudah ada dan mendirikan Israel di atasnya.

Herannya, pihak Arab meyakini pembicaraan soal proses perdamaian hari ini, soal perundingan dan normalisasi dan pilihan Peta Jalan Damai di tengah aksi pembantaian, pembangunan permukiman, dan tembok apartheid Israel.

Kita yakin bahwa identitas Arab, sejarah, warisannnya, tempat sucinya yang sedang dijajah lebih kuat dan akan tetap eksis. Semua rencana yang ingin menghapus sejarah Arab untuk membangun dengan riwayat sejarah Israel akan berbenturan dengan semangat bertahan dan perjuangan Palestina.

Namun Palestina membutuhkan - selain itu semua – kehadiran Arab yang hakiki dan penuh tanggungjawab, juga tindakan efektif negara-negara Islam dalam menghadapi rencana jahat zionisme Israel. (bn-bsyr)

Elit Palestina dan Arab dalam Persepsi Amerika dan Israel

Nawaf Zaru*

El-Bayan Emiret


Seperti biasanya dan ini bisa dibaca, pemerintah Amerika hanya membayar kepada Palestina dan Arab berupa “pajak kata-kata” melalui media konsumtif saja. Sementara kepada Israel, Amerika memberikan jaminan, janji, dana riil, tindakan riil, dan veto. Sementara kepada Arab, Amerika memberikan “tongkat keras” tidak ada tindakan ril sama sekali. Presiden AS sekarang, Barack Obama, seperti pendahulunya, dan Menlunya Clinton juga seperti pendahulunya; keduanya menegaskan kembali gagasan Peta Jalan Damai dalam setiap kunjungan dan kesempatan “mendukung berdirinya Negara Palestina Merdeka”. Dengan keduanya menyerukan kepada Israel agar komitmen dengan Peta Jalan Damai, menghentikan perluasan permukiman, membekukan pemukiman yahudi illegal dan mengurangi penderitaan rakyat Palestina. Bayangkan…….

Israel tidak merespon permintaan AS, bahkan Netanyahu dengan tegas menolaknya, pemerintahan di belakangannya pun mendukung seutuhnya. Tapi AS bergeming. Bahkan sebagian media menyebut pemerintah AS mulai mengurangi tekanannya – tekanan yang mana ????– kepada Netanyahu.

Meski Israel tetap arogan, Prsiden Obama tampaknya meminta bantuan kekuatan kepada Arab untuk mengganti ketidakberdayaannya di depan Netanyahu dan Lobi Zionis. Dimana Obama menyerang elit-elit Arab dan Palestina dengan menuding mereka “bertanggungjawab atas kekakuan dan arogansi Israel”. Dalam pertemuan dengan delegasi Organisasi Yahudi, Obama menegaskan bahwa elit Palestina tidak menunjukkan sebagai pemimpin, dan elit Arab tidak memiliki keberanian. (16/7/2009).

Mengutip sumber di delegasi Organisasi Yahudi, Yediot Aharonot menyebutkan bahwa dalam pertemuan itu Obama mengatakan “Saya sampaikan surat kepada elit-elit Arab untuk mengajak mereka mendukung perdamaian dan perubahan melalui pengajuan prakarsa itikad baik kepada Israel. Sayangnya, mereka kurang berani dan elit Palestina tidak menunjukkan sebagai pemimpin”. Yang menarik, pidato Obama berubah mundur setelah lima bulan menjabat presiden. Dalam pidato sebelumnya ia menunjukkan “mata merah” kepada Israel dan Netanyahu dan memintanya agar membekukan permukiman dan ngotot solusi dua negara. Lebih menyakitkan, Obama kali ini menghindar dari menuding Israel bertanggungjawab dan menghindar menyebut Israel sebagai negara penjajah, perampas, keluar dari jalur hukum internasional dan menuding Palestina dan Arab justru yang bertanggungjawab atas arogansi Israel.

Maka Obama persis dengan Israel dalam hal persepsinya terhadap elit-elit Palestina dan Arab.

Para elit lembaga negara Israel mengekor persis kepada “nenek moyang pendiri” negara mereka, terutama Ben Gorion yang merancang “watak perdamaian Israel” dengan mengatakan, “Kesepakatan apapun dengan Arab soal tujuan akhir Israel adalah mungkin digambarkan akan terjadi, namun itu untuk jangka panjang. Kesepakatan perdamaian utuh sekarang tidak bisa diterima. Karena Arab sudah putus asa secara penuh. Putus asa bukan karena gagal menggunakan jalan kekerasan dan usaha membelot. Namun juga karena keberadaan kita makin berkembang di negeri tersebut yang memungkinkan bagi Arab tunduk di atas tanah Yahudi Israel,”

Auze Arad ketua Dewan Keamanan Nasional dan Penasehat Politik Netanyahu memperkirakan bahwa akan sangat sulit mewujudkan perdamaian Israel-Palestina sekarang ini, karena Arab tidak mengakui kebenaran sejarah Israel bahwa mereka memiliki eksistensi. Arad menegaskan di Haaretz “Saya tidak melihat adanya tindakan nyata Palestina untuk mendekat kepada tindakan menyerah atas eksistensi Israel dan membuat perdamaian dengan Israel. Saya juga tidak melihat pimpinan Palestina dan sistem pemerintahnya. Tapi mereka hanya kelompok tidak sistematis dari faksi-faksi dan kelompok lainnya.”

Jenderal Salomo Goziet menegaskan tentang perubahan Arab mengarah tunduk kepada Israel dan AS. “Kami melihat KTT Arab yang mengeluarkan sikap empat kata-kata “Ya”; ya, mengakui Israel, ya, berunding dengannya, ya, untuk berdamai dan ya, untuk normalisasi dengan semua negara Arab,” tegasnya.

Lebih jauh Silvan Shalom, mantan Menlu Israel saat itu mengatakan di podium PBB bahwa “Tembok baja Arab yang memisah antara Arab dan Israel mulai roboh.” Ia menambahkan dengan sangat arogan, “Siapapun yang ingin membantu Palestina maka ia harus bekerjsama dengan Israel, dan ini adalah syarat mutlak bagi semua negara yang menginginkan itu."

Jenderal Ore Shage, mantan kepala intelijen militer Israel menyimpulkan pengamatannya terhadap realitas Arab dengan “Kini tidak ada nasionalisme Arab yang utuh dalam konflik dengan Israel,” Sementara Moshe Yaalon dengan optimis mengatakan, “Kami tidak lagi membicarakan soal dunia Arab, atau persatuan Arab, namun pembicaraan adalah soal kepentingan kelompok tertentu.”

Kolumnis Israel terkenal Ghazi Bachor lebih tegas lagi menyingkap psikologi riil negara-negara resmi Arab dan kepribadian mereka di Yediot Aharonot, “Tidak mungkin kita katakan bahwa ada pemimpin Arab satupun yang berperangaruh dengan tindakannya. Semuanya terkenal karena tidak muncul. Mereka lari dari gagasan perubahan, takut masa depan, memenjarakan reformasi di balik bilik penjarah, mencengkrami masa sekarang dengan kuku mereka, mereka sibuk menjaga kepentingan diri mereka sendiri, sementara bangsa Arab lainnya hidup tanpa pemimpin,”

Kita harus akui bahwa patner Israel dari Palestina dalam perundingan damai saat ini tidak memiliki bekal yang cukup. Bukankah wajar jika kondisi Arab saat ini seperti itu, maka negara arogansi Israel terus melenggang melakukan kejahatannya, menghina, meremehkan segala keputusan dan hukum, meskipun mereka (Arab) sudah memutuskan bahwa tidak ada pilihan bagi mereka kecuali perdamaian strategis dengan pihak yang tidak ingin perdamaian? Dan meski Israel sudah menghapus seluruh pilihan lainnya dalam rangka menjaga negara dan mengembalikan hak-hak yang dirampas?? Tapi tetap saja proses perundingan digulirkan?

Lantas kenapa, Israel tidak melanjutkan serangan terbukannya kepada Palestina dan Arab, selama negara rasis itu tidak khawatir apapun, berupa serangan balasan dari Arab?? (bn-bsyr)

*Kolumnis Arab

Persatuan dan Kekuatan Arab Jaminan Perdamaian

Rakan Al-Majali

Asy-Syarq Qatar

Kami tidak bermaksud mengulang teori bahwa bangsa Arab yang kuat saja yang mampu menciptakan perdamaian. Bangsa Arab yang lemah yang tidak mampu bangga dan mulia serta tahan banting terlalu lemah untuk mewujudkan perdamaian bagi diri mereka sendiri apalagi kepada yang lain.

Lebih dari enam dekade lalu ketika dibentuk Liga Arab dan awal mula pembentukan sistemasi negara-negara Arab, “identitas kebangsaan Arab pada Palestina” menjadi idealisme dan tujuan tertinggi yang dicita-citakan Arab untuk membelanya dan menjaganya dari segala upaya menghancur status kearaban Palestina. Meski konspirasi imprialisme Israel barat lebih besar, lebih kuat dari kekuatan kawasan Arab, namun tetap ungkapan yang keluar adalah menolak kejahatan pencaplokan Palestina tahun 1948 hingga tahun 1967. Tidak ada satupun di kalangan Arab berani terang-terangan memberikan kompromi dari sejengkal pun tanah Palestina. Kekalahan Arab di perang 5 Juni 1967 menyebabkan kondisi sock Arab. Mereka menolak kekalahan telak pada saat itu. Bahkan rezim-rezim Arab pada saat itu (1967) bersatu mengumumkan “tiga la (tidak) dari bangsa Arab” (tidak untuk mengakui Israel, tidak berunding dan tidak normalisasi dengan Israel).

Sikap kukuh Arab untuk bersatu pada perang Oktober 1973 dan negara-negara Arab bersama rakyatnya merasakan kemenangan militer pada saat itu. Namun hasil politik setelahnya, menyusul Mesir menempuh solusi sendirian sebagai langkah awal menyepakati sesi kedua tahun 1974 hingga terjadi kunjungan Anwar Sadat ke Al-Quds 1977 dan berakhir pada penandatanganan kesepakaan Cam David 1979. Ini semua menyebabkan masalah mengalami hantaman keras terhadap masalah Palestina dan guncangan keras terhadap negara-negara Arab yang bereaksi keras terhadap sikap Anwar Sadat pada saat itu; dimana banyak negara memakzulkan Mesir dari konflik Arab. KTT Baghdad tahun 1978 merupakan ekspresi reaksi dan strategi Arab dalam menjaga sistemasi negara-negara Arab. Sistemasi itu kemudian dihancurkan oleh Perang Teluk II tahun 1990. Kondisi semakin terpuruk ketika perpecahan negara-negara Arab sudah sempurna di tengah hancurnya tata dunia lama dengan hancurnya bas camp sosialisme (Uni Sovyet).

Hanya sekedar mengingatkan; unsur pembentuk identitas peradaban kawasan Arab masih beraliran sunni sejak Khilafah Rasyidah hingga Khilafah Utsmaniah; yang merupakan negara khilafah sunni terakhir. Imprialisme Utsmaniah beraliran sunni seperti halnya pendahulunya, meski pada saat yang sama banyak kelompok dan aliran Islam lainnya yang tidak dihilangkan atau berbenturan dengan sunni.

Bangsa Arab pernah berharap mendirikan satu negara di atas puing-puing imprialisme Islam Utsmani. namun cita-cita Arab untuk bersatu ini berbenturan dengan konspirasi barat yang jahat. Upaya paling tinggi mereka lakukan – setelah entitas kebangsaan Arab stabil – adalah menciptakan link antara negara-negara itu. Itulah sistemasi negara-negara Arab. Sistemasi negara Arab adalah keimanan paling lemah. Namun demikian sistem itu masih menjadi sasaran konspirasi luar, perpecahan dan friksi internal hingga akhirnya terbelah pada tahun 1990 seperti yang kami tegaskan.

Seperti diketahui, berbagai upaya tidak berhenti untuk mengembalikan sistem negara-negara Arab ini. Di sisi lain, tekanan dan serangan dari luar terhadap sistem itu juga tidak berhenti. Disamping berbagai upaya menyulut fitnah golongan, pancingan perang, provokasi untuk menciptakan alternative sistem dari negara sunni sekarang. Semua itu melahirkan kelemahan, perpecahan dan kehancuran seperti sekarang ini. Semuanya tidak berpihak kepada kepentingan umat dan secara khusus kepada kepentingan solusi masalah Palestina. Maka tidak ada perlu turut dalam kancah perundingan kecuali jika sudah terwujud front Arab bersatu yang kuat. Jika tidak, maka kelemahan dan ketidakberdayaan sekarang ini tidak mungkin mengantarkan kepada perundingan. Bahkan dipastikan akan terjadi istislam (menyerah dan memberikan kompromi-kompromi) bukan salam (perdamaian) serta akan menimbulkan berbagai situasi buruk dan tragis bagi kondisi Arab, sebagian atau seluruhnya. (bn-bsyr)