Minggu, 16 Agustus 2009

Elit Palestina dan Arab dalam Persepsi Amerika dan Israel

Nawaf Zaru*

El-Bayan Emiret


Seperti biasanya dan ini bisa dibaca, pemerintah Amerika hanya membayar kepada Palestina dan Arab berupa “pajak kata-kata” melalui media konsumtif saja. Sementara kepada Israel, Amerika memberikan jaminan, janji, dana riil, tindakan riil, dan veto. Sementara kepada Arab, Amerika memberikan “tongkat keras” tidak ada tindakan ril sama sekali. Presiden AS sekarang, Barack Obama, seperti pendahulunya, dan Menlunya Clinton juga seperti pendahulunya; keduanya menegaskan kembali gagasan Peta Jalan Damai dalam setiap kunjungan dan kesempatan “mendukung berdirinya Negara Palestina Merdeka”. Dengan keduanya menyerukan kepada Israel agar komitmen dengan Peta Jalan Damai, menghentikan perluasan permukiman, membekukan pemukiman yahudi illegal dan mengurangi penderitaan rakyat Palestina. Bayangkan…….

Israel tidak merespon permintaan AS, bahkan Netanyahu dengan tegas menolaknya, pemerintahan di belakangannya pun mendukung seutuhnya. Tapi AS bergeming. Bahkan sebagian media menyebut pemerintah AS mulai mengurangi tekanannya – tekanan yang mana ????– kepada Netanyahu.

Meski Israel tetap arogan, Prsiden Obama tampaknya meminta bantuan kekuatan kepada Arab untuk mengganti ketidakberdayaannya di depan Netanyahu dan Lobi Zionis. Dimana Obama menyerang elit-elit Arab dan Palestina dengan menuding mereka “bertanggungjawab atas kekakuan dan arogansi Israel”. Dalam pertemuan dengan delegasi Organisasi Yahudi, Obama menegaskan bahwa elit Palestina tidak menunjukkan sebagai pemimpin, dan elit Arab tidak memiliki keberanian. (16/7/2009).

Mengutip sumber di delegasi Organisasi Yahudi, Yediot Aharonot menyebutkan bahwa dalam pertemuan itu Obama mengatakan “Saya sampaikan surat kepada elit-elit Arab untuk mengajak mereka mendukung perdamaian dan perubahan melalui pengajuan prakarsa itikad baik kepada Israel. Sayangnya, mereka kurang berani dan elit Palestina tidak menunjukkan sebagai pemimpin”. Yang menarik, pidato Obama berubah mundur setelah lima bulan menjabat presiden. Dalam pidato sebelumnya ia menunjukkan “mata merah” kepada Israel dan Netanyahu dan memintanya agar membekukan permukiman dan ngotot solusi dua negara. Lebih menyakitkan, Obama kali ini menghindar dari menuding Israel bertanggungjawab dan menghindar menyebut Israel sebagai negara penjajah, perampas, keluar dari jalur hukum internasional dan menuding Palestina dan Arab justru yang bertanggungjawab atas arogansi Israel.

Maka Obama persis dengan Israel dalam hal persepsinya terhadap elit-elit Palestina dan Arab.

Para elit lembaga negara Israel mengekor persis kepada “nenek moyang pendiri” negara mereka, terutama Ben Gorion yang merancang “watak perdamaian Israel” dengan mengatakan, “Kesepakatan apapun dengan Arab soal tujuan akhir Israel adalah mungkin digambarkan akan terjadi, namun itu untuk jangka panjang. Kesepakatan perdamaian utuh sekarang tidak bisa diterima. Karena Arab sudah putus asa secara penuh. Putus asa bukan karena gagal menggunakan jalan kekerasan dan usaha membelot. Namun juga karena keberadaan kita makin berkembang di negeri tersebut yang memungkinkan bagi Arab tunduk di atas tanah Yahudi Israel,”

Auze Arad ketua Dewan Keamanan Nasional dan Penasehat Politik Netanyahu memperkirakan bahwa akan sangat sulit mewujudkan perdamaian Israel-Palestina sekarang ini, karena Arab tidak mengakui kebenaran sejarah Israel bahwa mereka memiliki eksistensi. Arad menegaskan di Haaretz “Saya tidak melihat adanya tindakan nyata Palestina untuk mendekat kepada tindakan menyerah atas eksistensi Israel dan membuat perdamaian dengan Israel. Saya juga tidak melihat pimpinan Palestina dan sistem pemerintahnya. Tapi mereka hanya kelompok tidak sistematis dari faksi-faksi dan kelompok lainnya.”

Jenderal Salomo Goziet menegaskan tentang perubahan Arab mengarah tunduk kepada Israel dan AS. “Kami melihat KTT Arab yang mengeluarkan sikap empat kata-kata “Ya”; ya, mengakui Israel, ya, berunding dengannya, ya, untuk berdamai dan ya, untuk normalisasi dengan semua negara Arab,” tegasnya.

Lebih jauh Silvan Shalom, mantan Menlu Israel saat itu mengatakan di podium PBB bahwa “Tembok baja Arab yang memisah antara Arab dan Israel mulai roboh.” Ia menambahkan dengan sangat arogan, “Siapapun yang ingin membantu Palestina maka ia harus bekerjsama dengan Israel, dan ini adalah syarat mutlak bagi semua negara yang menginginkan itu."

Jenderal Ore Shage, mantan kepala intelijen militer Israel menyimpulkan pengamatannya terhadap realitas Arab dengan “Kini tidak ada nasionalisme Arab yang utuh dalam konflik dengan Israel,” Sementara Moshe Yaalon dengan optimis mengatakan, “Kami tidak lagi membicarakan soal dunia Arab, atau persatuan Arab, namun pembicaraan adalah soal kepentingan kelompok tertentu.”

Kolumnis Israel terkenal Ghazi Bachor lebih tegas lagi menyingkap psikologi riil negara-negara resmi Arab dan kepribadian mereka di Yediot Aharonot, “Tidak mungkin kita katakan bahwa ada pemimpin Arab satupun yang berperangaruh dengan tindakannya. Semuanya terkenal karena tidak muncul. Mereka lari dari gagasan perubahan, takut masa depan, memenjarakan reformasi di balik bilik penjarah, mencengkrami masa sekarang dengan kuku mereka, mereka sibuk menjaga kepentingan diri mereka sendiri, sementara bangsa Arab lainnya hidup tanpa pemimpin,”

Kita harus akui bahwa patner Israel dari Palestina dalam perundingan damai saat ini tidak memiliki bekal yang cukup. Bukankah wajar jika kondisi Arab saat ini seperti itu, maka negara arogansi Israel terus melenggang melakukan kejahatannya, menghina, meremehkan segala keputusan dan hukum, meskipun mereka (Arab) sudah memutuskan bahwa tidak ada pilihan bagi mereka kecuali perdamaian strategis dengan pihak yang tidak ingin perdamaian? Dan meski Israel sudah menghapus seluruh pilihan lainnya dalam rangka menjaga negara dan mengembalikan hak-hak yang dirampas?? Tapi tetap saja proses perundingan digulirkan?

Lantas kenapa, Israel tidak melanjutkan serangan terbukannya kepada Palestina dan Arab, selama negara rasis itu tidak khawatir apapun, berupa serangan balasan dari Arab?? (bn-bsyr)

*Kolumnis Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar