Minggu, 16 Agustus 2009

Kelemahan Arab dan Jalan Menuju Normalisasi

Nakula Nasher

Al-Wathan Qatar

Dari poros konsentrasi tugasnya menyerukan penghentikan penuh perluasan permukiman Yahudi di Palestina wilayah jajahan tahun 1967 di Tepi Barat kepada seruan menuju normalisasi Arab secara bertahap dengan penjajah Israel, delegasi presiden Amerika untuk perdamaian di Timur Tengan George Mitchel menegaskan – selama kunjungannya ketiga ke kawasan selama enam bulan – kebenaran sejumlah hasil investigasi yang berisi soal kebernasilan negara Israel dalam organisasi-organisasi penekan Yahudi – Zionis di Amerika dan internasional. Yakni keberhasilan dalam membawa kampanye presiden Obama secara politik dan diplomasi serta media yang bisa menekan – tapi bukan tindakan nyata – penghentikan permukiman Israel sejak Obama berjanji kepada biro Yahudi dengan kompensasi pertukaran normalisasi (Arab – Israel). Ini dianggap sebagai ungkapan perimbangan antara kedua pihak yang bertikai.

Kelemahan Arab – Palestina membuat Mitchel tanpa ragu dan terang-terangan berpidato di depan mimbar di ibukota-ibukota Arab yang dikunjunginya dan berpidato, “Kami berkumpul dengan elit-elit negara Arab di kawasan untuk mendorong mereka mengambil sikap nyata menuju normalisasi.” Namun ia melanjutkan dengan hati-hati, “kami tidak meminta kepada siapapun untuk mewujudkan normalisasi sempurna saat ini.” Sebaliknya negara-negara Arab resmi pun tanpa ragu-ragu menggelar diplomasi dengan tujuan normalisasi baik secara penuh atau bertahap.

Meskipun kerajaan Arab Saudi dan Liga Arab melalui Sekjennya Amr Mosa pernah menolak seruan Michael untuk “jedah sejenak” dari opini public melawan normalisasi. Namun ini hanya memberikan indikasi bahwa normalisasi memang belum menjadi gejala keseluruhan negara-negara Arab. Jika diteliti secara detail, sikap Arab – Palestina mendukung normalisasi dan penghentikan permukiman. Ini sebenarnya sikap kurang benar jika dibandingkan dengan sikap Perancis. Melalui juru bicara Deplu Perancis, Frederic Desagneaux bahwa negaranya mendorong negara Israel menghentikan permukiman Israel tanpa mengaitkan dengan normalisasi hubungan dengan Arab.

Mitchel tidak butuh mengerahkan banyak tenaga terlalu keras untuk membuka jalan seruannya. Sebab Majlis Kementerian Luar Negeri Arab di Liga Arab dalam pertemuan terakhirnya di Kairo sudah “memutuskan bahwa negara-negara Arab akan mempelajari prosedur dan sikap yang perlu untuk merespon langkah positif dari Israel. Respon itu meski dilakukan secara bertahap dan AS dan dunia internasional harus mendorong Israel mengambil langkah positif sebelum normalisasi.” Majlis Kementerian menegaskan bahwa Arab secara massal menerima prinsip normalisasi dan prinsip normalisasi harus ada kompensasi menghentikan aksi pemukiman Israel serta hal itu dilakukan secara bertahap.

Namun Mitchel dan Majlis Kementerian Arab pura-pura tidak tahu bahwa Prakarsa Arab pernah mensyaratkan pertukaran normalisasi Arab dengan berdirinya negara Palestina dan penarikan Israel dari wilayah Arab di Golan Suriah dan Utara Libanon. Prakarsa juga mensyaratkan penarikan menyusul – bukan mendahului – pasukan Israel Israel. Mitchel juga lupa bahwa proyek permukiman Israel bertentangan secara hukum internasional dan keputusan PBB, termasuk dengan kesepakatan perundingan dari Peta Jalan hingga Annapolis.

Pengalaman perunding Palestina membuktikan bahwa mereka selalu mundur dan meralat dari sikap yang diumumkan secara resmi. Seperti yang terjadi di Annapolis tahun 2007 dan setelahnya. Ini semua membuktikan bahwa perlu diragukan; tidak butuh lama presiden Palestina menyetujui normalisasi Arab dengan Israel sebagai judul baru tugas Mitchel.

Sebagai contoh; meski presiden Palestina mengumumkan persyaratan penuh penghentian permukiman Israel agar bisa memulai kontak dan perundingan dengan Israel – meski para pengamat mengaitkan kontak perundingan ini hingga Obama mengumumkan rencananya memulai “proses perundingan” musim ini – namun kontak sudah dilakukan dalam bidang koordinasi keamanan. Terutama beberapa saat lalu soal masukkanya anggota konferensi Fatah VI ke Betlehem. Namun contoh paling kentara soal pertentangan antara yang disampaikan secara resmi dengan kondisi riil di lapangan adalah akurnya Komite Ekonomi Israel dan Palestina Bersama; yakni pada saat presiden Abbas dan Otoritas Palestina di Ramallah mengumumkan penolakannya terhadap “Perdamaian Ekonomi” yang diumumkan oleh PM Israel Benjamen Netanyahu sehingga kerjasama ekonomi include dengan kerjasama keamanan sebagai dua bidang yang tidak terikat dengan syarat-syarat politik dua pihak untuk memulai perundingan.

Normalisasi Palestina (dengan Israel) di bidang keamanan dan ekonomi sudah tegak. Karenanya, ia tidak bukan tuntutan bagi Israel dan Amerika. Namun negara Israel dan Amerika menjadikan tuntutan itu kepada perunding Palestina agar semakin meningkatkan normalisasi. Persis seperti halnya dua negara koalisi tersebut (Israel dan AS) tidak cukup hanya dengan PLO harus mengakui negara Israel namun keduanya juga berusaha agar Palestina terus memberikan konsesi-konsesi agar mengakui “keyahudian” negara Israel. Benar firman Allah

«وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ» (صدق الله العظيم).

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)

Dalam keakuran “komite ekonomi” ini, Rabu lalu di gedung Perez “Peace Center” di Tel Aviv, Menteri Ekonomi Palestina di Otoritas Palestina di Ramallah Bashim Khouri dan Menteri Pembangunan Kawasan Israel Silvan Shalom keduanya membicarakan perdamaian. Shalom waktu itu mengatakan, “Kita harus mengakui bahwa keinginan untuk normalisasi adalah keinginan Israel yang mendasar. Kami melihat bahwa normalisasi adalah tujuan, namun Arab melihatnya sebagai sarana untuk kepentingan ekonomi”. Sebelum kemudian ia mengumumkan ketidak setujuannya sejauh mana kondisi normalisasi ekonomi Palestina dengan cara menganjurkan agar menghilangkah penghalang ketidaksiapan Palestina dalam bekerjasama.

Ada kontradiksi pada prakarsa menteri Palestina dimana ia menyatakan ingin menghidupkan “komite ekonomi” tapi ia tetap datang pada pertemuan pertamanya kemudian mengatakan, “Perdamaian ekonomi sudah pernah dicoba tapi gagal. Kebanyakan pasal kesepakatan Oslo adalah ekonomi maka Israel tidak komitmen dengan satupun pasal dari kesepakatan Paris. Sebelum Oslo total pendapatan bruto Israel lebih tinggi 11 kali dari Palestina, setelah lima tahun lebih besar 20 kali. Sekarang bruto kami lebih rendah dibanding tahun 1991 dengan prosentase 35%,” Lantas apa yang akan dilakukan Bashim Khouri di Tel Aviv, apa ia mau mencoba upaya yang sudah gaga?

Kemudian mereka membicarakan “ekonomi terowongan” di Jalur Gaza yang diblokade. Namun ini adalah pembicaraan lain lagi…(bn-bsyr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar