Minggu, 16 Agustus 2009

Tiga Tahun Terburuk dan Terpuruk dalam Sejarah Israel

Nawwaf El-Zorou

El-Bayan Emiret

Rabu pekan lalu (8/7), Israel memperingati tiga tahun (kekalahan mereka) dalam perang Libanon 2006 yang merenggut nyawa 121 serdadu mereka. Data lain menyebutkan korban Israel dua kali lipat dari jumlah itu. Sebuah angka kerugian yang tidak pernah terjadi dalam sebuah pertempuran dengan pasukan resmi Negara Arab sekalipun. Ini membuktikan betapa perang itu masih membakar kesadaran kolektif militer keamanan Israel, bahkan meninggalkan luka mendalam.

Para jubir komandan Israel berusaha membangun spirit pasukannya bahwa militer Israel siap menerapkan pelajaran dari perang tersebut untuk persiapan perang mendatang. Namun itu bukan jawaban memadai bagi keluarga pasukan korban yang terbunuh yang mengkritik perang Israel dengan pedas. Mengan Israel, Ehud Barack kala itu berjanji bahwa perang itu adalah titik tolak yang menakutkan dan tidak akan terjadi lagi, disamping perang itu telah membuka mata Israel. Menurut Barack sendiri, Hizbullah menguat dan terus mempersenjatai diri sehingga kekerasan akan terus terjadi. Lantas gertakan menakutkan apa yang sudah dilakukan Israel. Apakah agresinya di Jalur Gaza beberapa waktu lalu atau latihan militer mereka “titik tolak 1” hingga “titik tolak 3”?. Padahal banyak kesaksian Israel sendiri, bahwa militernya sedang gundah dan ketakutan akibat roket-roket Hizbollah, apakah akan berani melakukan serangan baru ke Libanon.

Yang membuat Israel tidak bisa tidur adalah “perut besarnya” yakni front pertahanan internal mereka yang hancur luluh selama peperangan terjadi. Berikut adalah pengungkapan data-data hasil perang Libanon itu yang dialami Israel, masyarakatnya dan militernya:

- 2006 adalah tahun terburuk dalam sejarah Israel

- Israel mengalami kekalahan telak dan tidak akan dilupakan oleh generasi-generasi Israel berikutnya.

- Keraguan terhadap eksistensi dan masa depan Negara Israel dan proyek zionis yang sesuai dengan agenda Israel.

- Teori dan pemahaman militer Israel makin tidak berlaku dan berjatuhan, demikian halnya target politik dan strateginya makin hancur.

- Militer Israel melakukan reformasi teori militernya usai kekalahannya dalam perang Libanon. Perez menyerukan agar mengembangkan senjata Nano Teknologi untuk menghadapi Hezbollah.

Setiap kesimpulan di atas memiliki kaitan langsung dengan pemahaman “ideology dan teori militer peperangan”, “superior multak”, “kemampuan menyerang” dan “membakar kesadaran” yang diyakini Israel selama ini sebagai legenda mereka. Selama beberapa decade mereka merasa puas dan bahagia menceritakan riwayat istimewa mereka sebagai militer kecil, cerdik, kuat, tak terkalahkan, dan mampu mewujudkan kemenangan dalam waktu cepat terhadap sejumlah Negara dan militer Arab.

Namun berdasarkan data Israel sendiri, perlawanan Libanon mampu membalikkan perhitungan dan prediksi strategi mereka dalam mengubah kemenangan Israel yang cepat menjadi kekalahan yang membakar kesadaran dan teori legenda mereka.

Dalam perangnya di Libanon, Israel menggunakan seluruh kekuatan militernya berupa serangan udara intens. Desa-desa Libanon secara utuh hancur rata dengan tanah, disamping infrastruktur yang ada dari jembatan, saluran air, instalasi listrik dan lain-lain. Seakan Israel ingin mengatakan, “Ini akibat siapapun yang berusaha mengganggu Israel…inilah balasannya”.

Namun kenyataan di lapangan, dalam perang tanding di sana, angin tidak sepoi-poi seperti yang dikehendaki Israel. Kondisi berbalik, dari kepercayaan diri mutlak akan menang telak melawan Hizbollah menjadi keputusasaan, kelabakan dan perasaan kalah menghadapi perlawanan yang tidak melemah semangatnya.

Ya, Israel yang dianggap besar menghadapi kehinaan paling besar pula dalam sejarahnya. Ini yang ditegaskan oleh pakar Amerika, Brett Stignr di koran The Wall Street Journal. Di lapangan, pasukan-pasukan pilihan berjatuhan di neraka Bent Jabel. Bahkan ada “pembantaian Merkava”, yang konon adalah tank paling canggih dan paling kuat menahan gempuran di dunia.

Secara intelijen, sumber-sumber Israel menegaskan bahwa Hezbollah berhasil mengalahkan “trinitas” terbesar badan intelijen Israel. Dalam perang media spikologi, sebuah studi Israel menegaskan bahwa kredibilitas Hasan Nasrollah mengungguli kredibilitas Israel dalam opini dunia dan TV Al-Manar menjadi teka-teki membingungkan bagi Israel dalam perang pengaruh.

Kesimpulannya, perang Israel ke Libanon tiga tahun lalu, seperti pengakuan Israel sendiri adalah perang paling gagal, kisah paling gelap dan menyedihkan dalam sejarah Israel. Keraguan Israel terhadap eksistensi dan masa depannya sendiri semakn mendalam. (bn-bsyr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar